Rabu, 09 Maret 2016

Keganjilan Nama di Sumatera Barat


ADA yang terasa ganjil ketika kita membaca alamat seseorang di Sumatera Barat. Di kolom alamat KTP tertulis Padang Lawas, Air batumbuk dan Koto Gedang. Selintas terlihat nama tempat ini ditulis dalam bahasa Indonesia.

Namun ketika dicari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ternyata kata tersebut punya makna yang jauh dari kata asalnya dan bahkan ada yang tidak ditemukan sama sekali. Kata batumbuk, gedang, bangis tidak jelas maksud dan artinya.

Kata ‘lawas’ dalam penulisan Padang Lawas atau Saok Lawas sebenarnya dari bahasa Minang ‘laweh’. Laweh jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya luas. Sedangkan awas dalam bahasa Indonesia maknanya lama atau usang. Dengan demikian Padang Laweh dalam bahasa minang yang punya arti padang luas, setelah di Indonesiakan tulisannya menjadi Padang Lawas maka artinya Padang Usang atau Padang Lama.

Jika ingin bahas Indonesia yang benar, maka Saok Lawas harus ditulis ‘Tutup Luas’, Aie Batumbuak jadi ‘Air Beradu’, Koto Gadang jadi ‘Kota Besar’, Aie Bangih jadi Air Bengihs dan seterusnya.

Sebagian orang mengatakan mengatakan apalah arti sebuah nama? Api menurut penulis, nama adalah identitas. Dari nama kita mengerti tempat itu ada di mana. Kalaupun ada nama yang mirip dengan di tempat lain, berarti ada pertalian akar sejarahnya. Kota Baharu, tidak mungkin di Minangkabau tapi ada di Malaysia. New York di Amerika Serikat punya pertalian sejarah dengan York di Inggris. Demikian juga Sidodadi di Pasaman Barat, punya pertalian sejarah dengan Sidodadi di Jawa Timur.

Walaupun ini masalh klasik yang sudah beRlangsung lama di Sumatera Barat, namun masih tetap hangat dibicarakan. Di media sosial kembali hal ini menjadi perbincangan setelah Syahiran, Bupati Pasaman Barat beberapa waktu lalu menyatakan bahwa ibukota Kabupaten Pasaman Barat adalah Simpang Empat, bukan Simpang Ampek.

Kontan pernyataan ini menjadi perdebatan di dunia maya. Ada yang setuju dan juga ada yang tidak setuju dan masing-masing dengan argumentasi yang meyakinkan. Bagi yang setuju, alasannya adalah UU No. 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Pasaman Barat. Bai yang keberatan, alasannya Simpang Ampek nama asli dalam bahasa minang dimana kota ini adanya. Pemakaian nama Simpang Ampek merujuk pada Perda Pasaman Barat No. 5 Tahun 2011.

Ketika menyebut nama di tempat lain, kita tidak pernah mengindonsiakan. New South Wales tidak di Indonesiakan Paus Selatan Baru, Kaliurang jadi Sungai Udang, Ci Liwung jadi Sungai Liwung, New York jadi York Baru dan seterusnya. Kita hampir pasti menemukannya dengan nama aslinya meskipun menggunakan bahasa Inggris, Jerman, atau bahasa lainnya.

Ketika kita mengindonesiakan nama tempat di Minangkabau maka terjadilah berbagai ketidakwajaran seperti Kubu Karambie jadi Kubu Kerambil, Aie Bangih jadi Air Bangis, Koto Gadang jadi Koto Gedang, Sariak jadi Sarik, Koto Lweh jadi Koto Lawas, Aie Tabik jadi Air Tabik, Gantiang jadi Ganting, Pauah Kamba jadi Pauh Kembar, Sungai Sariak jadi Sungai Sarik dan Lansek Kodok jadi jadi Langsat Kedap.

Seolah orang minang tidak percaya diri atau (baca pede) dengan diri sendiri trmasuk dalam hal berbahasa. Padahal kalau kita menyebut naama kita apa adanya, masyarakat internasional pun mau menyebut kita apa adanya. Apakah kalau tidak diindonesiakan tidak keren? Orang luar tidak mengerti? Susah menyebutnya? Bagaiman nama-nama di tempat lain? Kita lihat nama-nama di tempat lain tetap dengan nama aslinya. Cibeureum dan Cibodas di Jawa Barat, Simeule dan Bireuen di Aceh, Kariango dan Bikeru di Sulawesi Selaatan dan lain-lain.

Mari kita biasakan menggunakan bahasa minang yang benar dalam menyebut nama tempat agar makna dan artinya tidak berubah. Juga agar dunia tahubahwa etnis Minangkabau itu ada. Kita berharap Pemprov Sumatera Barat ke depan akan melakukan itu. (Elfizon Amir/Harian Singgalang)